Rabu, 15 Oktober 2025

Globalisasi Hukum dan Urgensi Rekonstruksi Peradilan Pajak

Oleh: Hermansyah Hutagalung, S.H., M.H.
Redaksi - Senin, 13 Oktober 2025 17:36 WIB
Globalisasi Hukum dan Urgensi Rekonstruksi Peradilan Pajak
Penulis adalah mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum (S-3) USU
Medan, MPOL - Globalisasi kini tak lagi sekadar persoalan ekonomi dan perdagangan, melainkan juga merambah ke dunia hukum. Nilai-nilai universal seperti rule of law, good governance, dan judicial independence menjadi tolok ukur baru dalam tata kelola negara modern.

Baca Juga:
Setiap sistem hukum dituntut untuk menyesuaikan diri agar selaras dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas global, termasuk dalam penyelenggaraan peradilan.

Salah satu lembaga yang paling merasakan dampak globalisasi hukum adalah Peradilan Pajak. Dalam sistem perpajakan modern, sengketa pajak tidak boleh ditangani oleh lembaga yang berada di bawah kendali eksekutif, karena hal itu dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Namun di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, lembaga ini masih berada di bawah pembinaan Kementerian Keuangan. Posisi tersebut menimbulkan keraguan terhadap independensi peradilan dan berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.

Secara konstitusional, kekuasaan kehakiman haruslah merdeka. Campur tangan pihak eksekutif terhadap lembaga peradilan, apalagi dalam perkara yang juga melibatkan kepentingan negara sebagai fiskus, jelas bertentangan dengan asas imparsialitas dan due process of law.

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem keadilan pajak menjadi lemah, padahal keadilan dan kepastian hukum merupakan pilar utama iklim investasi yang sehat di tengah arus globalisasi ekonomi.

Negara-negara lain telah lebih dahulu menata sistemnya. Jerman dan Filipina, misalnya, menempatkan sengketa pajak di bawah yurisdiksi peradilan administrasi. Di Filipina, Court of Tax Appeals menjadi bagian integral dari Mahkamah Agung, sedangkan di Jerman, Finanzgericht beroperasi sebagai pengadilan pajak independen.

Pola serupa juga diadopsi oleh negara-negara anggota OECD yang menegaskan pentingnya pemisahan fungsi antara pemungut pajak (tax collector) dan pemutus sengketa pajak (tax adjudicator).

Dalam konteks Indonesia, gagasan integrasi Peradilan Pajak ke lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi langkah paling rasional dan konstitusional. Integrasi ini akan menciptakan satu kesatuan sistem peradilan administrasi yang kuat, transparan, dan bebas intervensi.

Selain itu, langkah ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa setiap tindakan administrasi negara harus tunduk pada prinsip hukum dan dapat diuji secara yudisial. Globalisasi hukum juga membawa konsekuensi terhadap reformasi kelembagaan peradilan.

Dunia kini menuntut adanya sistem penyelesaian sengketa pajak yang cepat, efisien, dan akuntabel. Sebagai anggota G20 dan peserta OECD Inclusive Framework on BEPS, Indonesia perlu memastikan sistem peradilannya memenuhi standar internasional dalam hal transparansi dan keadilan fiskal (tax justice).

Rekonstruksi kedudukan Peradilan Pajak bukan hanya persoalan teknis birokrasi, tetapi merupakan bagian dari komitmen konstitusional Indonesia untuk memperkuat kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Integrasi ke PTUN akan mempertegas prinsip negara hukum, meningkatkan kepercayaan publik, serta menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara yang lebih maju dalam tata kelola hukum modern. Inilah momentum penting untuk membangun sistem peradilan pajak yang merdeka, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan global.

Penulis adalah mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum (S-3) USU

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Baringin MH Pulungan
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru