Selasa, 30 Desember 2025

Transformasi Tata Kelola BUMN dengan Pembentukan Danantara

Oleh::Ganda Wiatmaja Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum  Universitas Sumatera Utara
Redaksi - Jumat, 12 Desember 2025 20:32 WIB
Transformasi Tata Kelola BUMN dengan Pembentukan Danantara
ist


Reformasi besar dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memasuki babak baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Baca Juga:
Pembaruan regulasi tersebut tidak semata menyempurnakan struktur kelembagaan, tetapi secara langsung membentuk suatu entitas baru bernama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang didesain sebagai superholding BUMN. Sejalan dengan hal tersebut, revisi terbaru melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU BUMN memberikan fondasi sinkronisasi dalam aspek fiskal, pengelolaan investasi, dan koordinasi kebijakan ekonomi negara.

Pembentukan Danantara merupakan bentuk transformasi struktural yang paling signifikan dalam sejarah pengelolaan BUMN, mengingat entitas tersebut diberikan kewenangan luas untuk mengelola dividen, melakukan konsolidasi aset, menentukan arah investasi strategis, hingga menyusun ulang struktur kepemilikan dan hubungan organ korporasi di seluruh kelompok usaha BUMN.

Kehadiran Danantara didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan investasi dan operasional BUMN sehingga memperkuat daya saing BUMN sebagai entitas global. Dalam beberapa dekade terakhir, BUMN menghadapi tantangan berupa inefisiensi, tumpang tindih kewenangan, intervensi birokrasi yang berlebihan, dan lemahnya ketepatan pengambilan keputusan bisnis akibat ketidakjelasan batas antara domain publik dan domain privat.

Melalui model superholding seperti Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia, negara-negara lain telah menunjukkan efektivitas konsolidasi aset dan sentralisasi strategi investasi dalam meningkatkan nilai korporasi. Namun, model superholding tersebut juga memiliki risiko governance, termasuk potensi konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar, moral hazard dalam pengelolaan aset negara, dan melemahnya akuntabilitas publik bila mekanisme pengawasan tidak transparan dan independen.

Artinya model tersebut dapat membawa peluang efisiensi sekaligus risiko serius apabila tidak dibarengi dengan kerangka oversight yang ketat.

Reformasi BUMN melalui pembentukan entitas pengelola investasi tidak terlepas dari persoalan mendasar tentang pemisahan kekayaan negara, perluasan diskresi bisnis, dan hubungan antara keputusan korporasi dengan konsep kerugian negara.

Perubahan paradigma menuju corporate governance modern sering menimbulkan dilema antara efisiensi ekonomi dan akuntabilitas publik, terutama ketika negara mencoba berperan sebagai investor sekaligus regulator.

Transformasi tersebut menjadi penting untuk dikaji karena pengalihan kewenangan Presiden dan Menteri BUMN kepada Danantara, konsolidasi pendapatan negara melalui dividen BUMN, dan penerapan prinsip Business Judgment Rule (BJR) yang semakin diperluas. Keseluruhan perubahan tersebut menimbulkan pertanyaan hukum yang signifikan mengenai bagaimana negara mengawasi entitas yang mengelola ratusan triliun rupiah aset publik namun diperlakukan sebagai korporasi privat dalam konteks akuntabilitas dan bagaimana perubahan fundamental tata kelola BUMN yang diperkenalkan oleh UU 1 Tahun 2025 dan UU 16 Tahun 2025 melalui pembentukan Danantara?
Perubahan Struktur Hukum Pengelolaan BUMN Pasca Perubahan Undang Undang BUMN
Perubahan paling fundamental pasca lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2025 dan perubahan terbaru melalui UU 16 Tahun 2025 terletak pada pergeseran struktur kewenangan negara dalam pengelolaan BUMN.

Apabila sebelumnya dalam UU Nomor 19 Tahun 2003, Menteri BUMN memegang posisi dominan sebagai regulator dan pemegang kekuasaan pengelolaan BUMN, UU 1/2025 secara eksplisit mengalihkan sebagian besar kewenangan tersebut kepada sebuah badan hukum baru bernama Danantara.

Ketentuan Pasal 3E UU Nomor 1/2025 memperkenalkan konsep delegated corporate authority, yakni sistem di mana negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi menyerahkan pengelolaan aset BUMN kepada entitas profesional yang diharapkan bekerja berdasarkan prinsip portofolio dan investasi, bukan lagi manajemen birokratis.

Struktur kepemilikan pun mengalami rekonstruksi, di mana negara mempertahankan 1% Saham Seri A Dwiwarna sebagai bentuk residual control rights, sementara 99% saham Seri B menjadi kewenangan Danantara sebagai superholding. Namun, pelapisan pemegang saham dalam model tersebut menimbulkan relasi keagenan ganda antara negara, Danantara, dan BUMN di bawahnya sehingga membutuhkan kerangka pertanggungjawaban yang jauh lebih jelas dibandingkan rezim sebelumnya.


Dalam perubahan UU BUMN, terdapat juga pergeseran nomenklatur dan tugas pokok dari Kementrian BUMN. UU 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa Menteri BUMN menjadi mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum.

Perubahan keempat terhadap UU BUMN mengubah nomenklatur Kementrian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN. Hal tersebut dipertegas melalui ketentuan Pasal 3B UU Nomor 16/2025 yang menyatakan BP BUMN menjadi regulator yang bertugas untuk menetapkan kebijakan, mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan BUMN.
Pada saat bersamaan, UU 16/2025 menata ulang sinkronisasi kebijakan fiskal dan investasi nasional, sehingga mempertegas posisi Danantara sebagai poros utama pengelolaan keuangan negara yang berasal dari kekayaan yang dipisahkan. Penguatan kerangka investasi ini dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar melalui konsolidasi portofolio BUMN.

Namun perubahan legal-institusional dalam model tersebut hanya efektif apabila struktur pengawasan secara paralel; apabila tidak, maka sentralisasi kekuasaan yang besar pada satu entitas justru menimbulkan risiko governance yang lebih tinggi.

Kewenangan Strategis Danantara sebagai Superholding dan Implikasinya terhadap Korporatisasi BUMN
Pembentukan Danantara menandai perubahan paradigma dari model pengelolaan BUMN yang berbasis kontrol administratif menuju pola investasi strategis yang terpusat.

Danantara tidak hanya bertindak sebagai pemegang saham mayoritas secara formal, tetapi juga sebagai ultimate controlling entity bagi seluruh kelompok usaha BUMN. Entitas ini diberikan kewenangan luas. Kewenangan Danantara diatur dalam Pasal 3F UU No. 16/2025 antara lain (i) mengelola dividen Holding Invstasi, Dividen Holding Operasional, dan Dividen BUMN, (ii) menyetujui penambahan dan/atau pengurangan penyertaan modal pada BUMN yang bersumber dari pengelolaan dividen Holding Investasi, Holding Operasional dan BUMN, (iii) menetapkan pedoman/kebijakan strategis dalam bidang, yakni: akuntansi/keuangan, pengembangan investasi, operasional dan pengadaan barang/jasa, informasi teknologi, SDM, manajemen risiko dan pengawasan internal, hukum dan kepatuhan, program TJSL dan program ESG.


Dalam menjalankan aksi korporasi untuk mengelola aset negara, BPI Danantara menggunakan kewenangan dengan mendirikan 2 (dua) holding sebagai strategi mewujudkan pengelolaan BUMN yang bersinergi, yakni:
(ii) Holding Investasi. Ketentuan Pasal 3AB UU 16/2025 menjadi dasar hukum bagi PT. Danantara Investasi Management (Persero) yang mempunyai tugas, melakukan pengelolaan investasi dan melakukan perberdayaan aset dalam rangka peningkatan nilai investasi; dan
(ii) Holding Operasional, melalui PT. Danantara Aset Management (Persero) yang mempunyai tugas pengelolaan operasional BUMN dan tugas lainnya yang ditetapkan oleh BPI Danantara (Ketentuan Pasal 3 AK UU 16/2025)
BPI Danantara juga mempunyai kewenangan menyusun strategi investasi jangka panjang, mengonsolidasikan perusahaan-perusahaan di bawah holding operasional, serta melakukan aksi korporasi mulai dari akuisisi, restrukturisasi, penjaminan, hingga pembiayaan ulang.

Pola tersebut menempatkan Danantara dalam posisi setara dengan Temasek Holdings atau Khazanah Nasional Berhad, namun konteks Indonesia berbeda karena Danantara masih berada dalam orbit langsung kekuasaan eksekutif yang berada langsung dalam kewenangan Presiden beserta unsur kementrian yang ditugaskan untuk menjadi Dewan Pengawas.

Rangkap jabatan tersebut berisiko menciptakan konflik kepentingan, karena Kepala BP BUMN tidak hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi sekaligus menjadi pengawas entitas yang memiliki dominasi ekonomi yang sangat besar.
Dengan kewenangan yang luas tersebut, Danantara menjadi motor konsolidasi aset negara berskala raksasa. Namun kewenangan superholding harus diimbangi dengan standar tata kelola setingkat sovereign wealth fund global agar tidak menimbulkan sentralisasi kekuasaan yang tidak terkontrol.

Dalam konteks BUMN Indonesia, risiko tersebut semakin besar karena terdapat kecenderungan historis intervensi politik dalam pengambilan keputusan bisnis, terutama pada perusahaan yang memegang fungsi pelayanan publik.

Oleh karena itu, meskipun Danantara berpotensi meningkatkan efektivitas dan nilai portofolio BUMN, implikasinya terhadap korporatisasi BUMN perlu dievaluasi secara kritis, mengingat struktur pengambilan keputusan yang sangat terpusat dapat mengurangi otonomi profesional direksi BUMN dan memperbesar risiko politically driven corporation.

Mekanisme Pengawasan, Pertanggungjawaban Hukum, dan Penerapan Business Judgment Rule (BJR)
Ketentuan Pasal 3H UU Nomor 16/2025 menyatakan, keuntungan dan kerugian yang dialami Badan dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian Badan sebelum dilakukan pencadangan.

Dengan ketentuan tersebut, maka kerugian atas investasi yang dilakukan oleh Danantara bukan termasuk kerugian Negara. Selain itu, perlindungan Danantara dalam pelaksanaan investasi yang menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai risiko bisnis (business judgment rule) sebagaimana diatur dalam Pasal 3Y UU Nomor 16/2025.
Salah satu isu terbesar dalam transformasi tata kelola sebagaimana dimaksud menyangkut mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban hukum Danantara. Ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU 1/2025 dinilai membatasi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan tugas pemeriksaan terhadap Danantara yang menyatakan:
"(2) Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
(3) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan atas permintaan alat kelengkapan DPR RI yang membidangi BUMN."
UU Nomor 1/2025 membatasi ruang pengawasan eksternal dengan menetapkan bahwa audit terhadap Danantara hanya dapat dilakukan atas permintaan DPR. Pelaksanaan audit kemudian dimaksudkan untuk tujuan tertentu, bukan audit menyeluruh sebagaimana lazim dilakukan terhadap BUMN.

Ketentuan tersebut mempersempit akuntabilitas publik terhadap suatu entitas yang mengelola kekayaan negara dalam jumlah sangat besar. Dalam UU 16/2025, memang terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal 71 yang mengatur kewenangan BPK dalam mengaudit Danantara. Ketentuan tersebut diubah dengan:
"(2) Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."


Namun perubahan tersebut masih belum kuat untuk menyakinkan terciptanya akuntabilitas publik bahwa tidak akan ada intervensi audit dalam badan Danantara mengingat dalam strukturnya, Danantara masih mengikutsertakan BPK sebagai Pengawas. Lebih eksplisit dalam ketentuan Pasal 24 Peratuan Pemerintah No. 10 Tahun 2025 tentang Organisasi Dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, Presiden membentuk Komite Pemantau dan Akuntabilitas (Oversight and Accountability Comitte) Danantara sebagai upaya untuk melakukan pengawasan dalam Danantara.

Namun dalam keberlangsungannya, tepat pada tanggal 24 Maret 2025, Danantara memasukkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Badan Pengawas Keungan dan Pembangunan (BPKP), Kapolri dan Jaksa Agung dalam Komite Pengawasan tersebut. Rangkap jabatan deretan Pengawas ini kemudian berpotensi menciptakan konflik kepentingan (conflict of interest) dan mengaburkan pembedaan antara fungsi regulator dan fungsi Aparat Penegak Hukum.


Dalam hal pertanggungjawaban, penerapan Business Judgment Rule (BJR) menjadi aspek paling signifikan. UU 1/2025 membawa BJR ke tingkat yang lebih luas, melindungi direksi Danantara dan direksi BUMN dari pertanggungjawaban hukum atas keputusan bisnis sepanjang keputusan tersebut diambil berdasarkan itikad baik, tanpa benturan kepentingan, dan dengan pertimbangan yang wajar.

Prinsip tersebut secara normatif penting untuk mencegah kriminalisasi kebijakan bisnis bahwa ketakutan direksi terhadap jerat hukum sering menghambat keberanian mengambil keputusan strategis.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru