Kamis, 09 Oktober 2025

Hidayat Nur Wahid Desak Revisi Total UU Haji dan Penguatan Diplomasi dengan Arab Saudi

Zainul Azhar - Kamis, 05 Juni 2025 20:05 WIB
Hidayat Nur Wahid Desak Revisi Total UU Haji dan Penguatan Diplomasi dengan Arab Saudi
Jakarta, MPOL - Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid, desak revisi total UU Haji dan penguatan diplomasi dengan Arab Saudi, demikian dikatakan dalam Dialek Demokrasi "Strategi Timwas Haji Menaikkan Standar Layanan dan Keselamatan Jamaah", Kamis (5/6) di DPR RI Jakarta.

Baca Juga:
Menurut Hidayat, rencana peralihan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji mulai 2026 perlu dibarengi revisi Undang-Undang (UU) Haji secara menyeluruh. Ia menilai revisi parsial hanya akan memperlemah posisi Indonesia dalam diplomasi dan koordinasi dengan otoritas Arab Saudi.

"Arab Saudi punya Kementerian Haji, sedangkan kita ke depan hanya badan. Ini tidak setara dalam konteks komunikasi antarnegara. Maka, revisi regulasi harus menyasar juga pada lembaga yang berwenang mengurus haji dan umrah." Selain itu juga menyoroti sejumlah persoalan krusial yang masih terjadi di lapangan, antara lain pemisahan suami-istri dalam kloter keberangkatan, koper jemaah yang belum sampai, pengurangan tim medis, hingga insiden tragis jemaah yang meninggal di tengah gurun karena salah rute.

"Jumlah jemaah wafat tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Salah satunya karena pelayanan kesehatan tidak maksimal akibat berkurangnya tim medis." Ia menilai lemahnya komunikasi diplomatik menyebabkan sejumlah kebijakan penting seperti pembatalan Visa Furoda dan tanazul diumumkan mendadak. Padahal, jika informasi disampaikan lebih awal, dampaknya bisa diminimalkan.

"Ketika Visa Furoda dibatalkan tiba-tiba tanggal 26 Mei, banyak jemaah dan travel yang sudah membayar ratusan juta rupiah. Ini kerugian besar yang bisa dicegah jika komunikasi antarotoritas berlangsung terbuka dan tepat waktu." Sebagai solusi jangka panjang, Hidayat juga mengusulkan agar Indonesia memperjuangkan perubahan formula kuota haji di tingkat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dari 1 jemaah per 1.000 penduduk menjadi 2 per 1.000.

"Jumlah umat Islam sudah jauh bertambah, infrastruktur Saudi juga sudah jauh lebih baik. Ini saatnya kuota diperbarui. Jika formula ini diterapkan, target Saudi untuk melayani 6 juta jemaah dalam Visi 2030 bisa lebih cepat tercapai, dan antrean haji Indonesia bisa terurai." Komisi VIII DPR telah menjajaki kerja sama dengan negara-negara anggota OKI yang kuotanya tidak terpakai, seperti Kazakhstan, sebagai bentuk strategi diplomatik alternatif untuk mengatasi persoalan antrian jemaah yang semakin panjang, tutur Hidayat Nur Wahid.

Catatan Timwas DPR untuk BPH dalam Perbaikan Standar Layanan dan Keselamatan Jemaah.

Begitu juga dengan tim pengawas melaporkan dari Makkah (Visual Video) Haji DPR RI Selly Andriany Gantina (F.PDI.P) memberikan catatan bagi Badan Penyelenggara Haji (BPH) dalam meningkatkan standar layanan dan keselamatan jemaah untuk pelaksanaan ibadah haji tahun berikutnya.

Catatan ini dirangkum Timwas Haji DPR berdasarkan hasil sidak ke sejumlah lokasi jemaah yang berada di Arab Saudi dan meninjau langsung berbagai macam aspek dari pelaksanaan ibadah haji tahun ini. "Tentu kami menganggap strategi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia tidak mudah, apalagi BPH selaku badan yang baru berdiri butuh penyesuaian dan kita mengetahui bahwa infrastruktur mereka pun masih mengandalkan bagian Ditjen PHU Kemenag."

Selly mengungkapkan ada sejumlah strategi yang diusulkan Timwas Haji DPR RI untuk BPH agar pelaksanaan ibadah haji tahun berikutnya berjalan dengan lebih baik, salah satunya strategi pelayanan. Dia mengatakan dari hasil sidaknya bersama Timwas Haji DPR RI lain ditemukan bahwa delapan Syarikah yang menjadi pilot project dalam pelaksanaan ibadah haji justru menunjukkan bahwa koordinasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi masih belum bisa terlaksana sampai dengan ke tingkat bawah.

"Artinya, kesepakatan antara pemerintah Indonesia yang diwakili Kementerian Agama maupun BPH selaku pengawas karena masih transisi dan pihak Kementerian Agama Saudi Arabia termasuk delapan Syarikah yang bekerja sama masih membutuhkan pendalaman yang lebih jauh." Untuk itu, ia memandang kebijakan yang dikeluarkan perintah Arab Saudi memang harus mulai diadaptasikan oleh pihak pemerintah Indonesia.

Selly menyampaikan catatan lainnya ialah penentuan sumber daya manusia (SDM), yakni petugas haji yang disiapkan oleh BPH nantinya. Dia mengungkapkan bila miskomunikasi antara pihak Syarikah dengan pemerintah Indonesia bukan karena di tingkat pusatnya.

Informasi baik dari pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi terputus karena para ketua kloter yang mewakili rombongan gagap terhadap masalah teknologi. Mereka bahkan tidak bisa berbahasa Arab Saudi, sementara dari pihak Syarikah hanya bisa berbahasa Arab Saudi tidak bisa menggunakan bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia, tutur Selly Andriany Gantina.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru