Rabu, 18 Juni 2025

RUU Penyiaran Dinilai Tak Relevan, DPR Usul Pisahkan Aturan untuk OTT dan TV Konvensional

Zainul Azhar - Selasa, 17 Juni 2025 20:22 WIB
RUU Penyiaran Dinilai Tak Relevan, DPR Usul Pisahkan Aturan untuk OTT dan TV Konvensional
Jakarta, MPOL - RUU Penyiaran dinilai tak revan, DPR RI usul pisahkan aturan untuk OTT dan TV Konvensional demikian anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, mengatakan dalam Forum Legislasi "Menjawab Tantangan Era Digital Lewat RUU Penyiaran Baru" Selasa (17/6) di DPR RI Jakarta.

Baca Juga:
Menurutnya urgensi pembaruan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran agar relevan dengan perkembangan teknologi digital. ia menegaskan bahwa pembahasan RUU yang sudah mandek sejak 2012 harus segera diselesaikan, namun dengan pendekatan yang cermat dan tidak terburu-buru.

RUU Penyiaran yang digagas lebih dari satu dekade lalu tidak lagi memadai karena tidak mencakup platform digital seperti Netflix, TikTok, YouTube, atau berbagai layanan over-the-top (OTT) lainnya. Hal ini menciptakan kekosongan hukum dan ketimpangan pengawasan antara media konvensional dan digital.

"RUU penyiaran tahun 2012 itu belum mengenal istilah OTT, belum ada Netflix, TikTok, dan platform streaming lainnya. Maka terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform digital tidak."

Namun ia mengingatkan, revisi RUU Penyiaran harus menghindari tumpang tindih kewenangan antara lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo Digital (Komdigi). Menurutnya, pengaturan yang serampangan berpotensi menciptakan konflik antar-lembaga serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum.

Abraham menilai bahwa definisi "penyiaran" dalam RUU perlu dipertajam agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktik pengawasan. Ia mengusulkan agar konten digital dan platform OTT diatur dalam undang-undang tersendiri, terpisah dari RUU Penyiaran yang berfokus pada siaran melalui gelombang radio frekuensi.

"Penyiaran itu secara teknis adalah transmisi serentak melalui gelombang radio frekuensi. OTT adalah hal berbeda. Kalau semua digabung, KPI akan jadi super power. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika, misalnya, ada FCC untuk TV konvensional dan lembaga lain untuk OTT.".

Ia juga menanggapi keresahan publik terhadap konten vulgar di platform digital yang tidak tersentuh sensor. Namun, penanganannya tetap harus mengedepankan kerangka hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih. "Kalau mau dimasukkan, harus jelas sejak awal. Judulnya juga harus berubah, misalnya jadi 'RUU Penyiaran dan Konten Digital'. Kalau tidak, ini akan menimbulkan konflik kewenangan," tegas Abraham.

Diskusi tersebut menjadi bagian dari upaya Komisi I DPR untuk mengkaji ulang struktur pengawasan media di era digital. Abraham menutup paparannya dengan menegaskan komitmen DPR untuk menuntaskan RUU Penyiaran, namun tanpa mengorbankan kejelasan hukum dan integritas kelembagaan.

"Komitmen kami di Komisi I adalah menuntaskan RUU ini secepatnya, tapi tidak dengan cara membuka celah permainan oleh oknum-oknum tertentu," tegas Abraham.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Soal 4 Pulau Milik Aceh, Sugiat Santoso : "Kita Ucapkan Terima Kasih Kepada Presiden Prabowo
Narasumber Pada Seminar Motivasi dan edukasi PPNM, Kombes Pol. (Purn.) Dr. Maruli Siahaan: Tekankan Pentingnya Pendidikan Karakter dan Literasi Digita
Anggota DPR RI Komisi XIII KBP (P) Dr Maruli Siahaan SH.MH Berharap Gemutuna Kota Medan Dapat Berkontribusi Untuk Pembangunan Kota Medan
Anggota DPR RI Kombes Pol. (Purn.) Dr. Maruli Siahaan S.H., M.H Apresiasi Golden Voice Of Batak, Wadah Melestarikan Bahasa dan Budaya Batak
Anggota DPR RI Dr Maruli Siahaan SH.MH Beri Bantuan Pesta Pembangunan Gedung Sekolah Minggu HKBP Sari Rejo
Tunjukkan Jiwa Sosial dan Kepedulian Yang Tinggi, Anggota DPR RI Dr Maruli Siahaan SH.MH Hadiri 4 Pesta Pernikahan Dalam Sehari
komentar
beritaTerbaru