Jakarta, MPOL - Sentralisasi kekuasaan menguat,
BRIN sebut otonomi daerah kian terpinggirkan demikian peneliti utama politik
BRIN Siti Zuhro mengatakan dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia "Hubungan Pusat dan Derah (optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah," Rabu (10/9) di DPR/
MPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya Dua dekade setelah reformasi menjanjikan otonomi daerah, arah politik Indonesia kembali bergerak ke pusat. Kewenangan daerah yang dulu dijanjikan luas kini dilucuti, digantikan kontrol ketat pemerintah pusat melalui regulasi baru, menyebut tren ini sebagai pelemahan serius desentralisasi.
Ia menuding Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bukti bagaimana kewenangan strategis daerah, mulai dari pengelolaan sumber daya alam hingga tata kelola ekonomi, ditarik kembali ke Jakarta. "Selera rezim menentukan nasib otonomi. Ketika pemerintah ingin seragam, daerah kehilangan ruang berkreasi. Itu berbahaya bagi demokrasi."
Reformasi 1998 melahirkan pasal baru dalam konstitusi yang memberi otonomi luas bagi daerah, kecuali untuk enam urusan absolut yang diatur pemerintah pusat. Namun, menurut Zuhro, janji itu tidak pernah sepenuhnya ditepati. Selama dua dekade terakhir, praktik pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah nyaris tidak berjalan. Indikatornya jelas: lebih dari 430 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT kepala daerah setinggi itu. Kelemahan mendasar negara ini ada di pengawasan," tuturnya.
Relasi pusat-daerah dalam sejarah Indonesia memang selalu bergejolak. Dari demokrasi terpimpin di era Sukarno, sentralisasi Orde Baru di bawah Soeharto, hingga euforia otonomi pascareformasi. Kini, arah kembali berbalik: sentralisasi gaya baru. Ia memperingatkan pola seragam ala pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti resep yang sama. "NKRI ini unik dengan 415 kabupaten dan puluhan provinsi. Kebijakan seragam justru kontraproduktif. Daerah maju tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah 3T."
Presiden Joko Widodo sudah menyiapkan "karpet merah" bagi sentralisasi. Prabowo Subianto, yang baru saja dilantik, diperkirakan akan melanjutkan pola tersebut. "Kewenangan daerah ditarik, kabinet diperbesar, anggaran daerah dipangkas. Itu bukan kebetulan. Itu pilihan politik."
Tanpa pemetaan menyeluruh terhadap daerah, kebijakan pusat berisiko salah sasaran. Ia mencontohkan Jakarta yang tetap mendapat alokasi jumbo, sementara daerah perbatasan tertinggal. "Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah baru. Tanpa koreksi, otonomi daerah hanya akan jadi jargon kosong," tutur Siti Zuhro.
Sedangkan Senator DPD Dedi Iskandar Kritik Sentralisasi, Desak Penguatan Otonomi Daerah, Ia menyoroti kian melemahnya praktik desentralisasi di Indonesia. Ia menilai semangat otonomi daerah yang menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998 justru semakin tereduksi akibat berbagai regulasi yang menarik kewenangan daerah kembali ke pusat.
"Sejak reformasi, otonomi daerah adalah poin penting. Tapi hari ini kewenangan daerah makin terdistorsi. Undang-Undang Minerba, Cipta Kerja, sampai kebijakan fiskal justru menarik otoritas ke Jakarta." Desentralisasi sejatinya memiliki tiga tujuan utama: politik, ekonomi, dan administratifamun, kondisi saat ini justru membuat daerah kehilangan peluang untuk mengelola sumber daya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Daerah yang kaya sumber daya, seperti tambang nikel atau batubara, justru masih dihantui angka kemiskinan tinggi. Kekayaannya lari ke pusat, masyarakat setempat tetap miskin." Turunnya alokasi dana transfer ke daerah yang pada 2019 mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun, kini tinggal Rp 650 triliun atau sekitar 29,4 persen. Kondisi ini membuat kepala daerah semakin terbatas dalam melakukan inovasi pembangunan.
"Kalau izin-izin ditarik ke Jakarta dan PAD hanya bergantung pada PBB atau pajak kendaraan, bagaimana kepala daerah bisa berinovasi?" Untuk itu, ia merekomedasikan empat langkah yang harus segera dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah pusat lebih banyak melibatkan daerah dalam pengambilan kebijakan.
Kedua, memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk mengelola potensi dan sumber daya. Ketiga, mengurangi disparitas ekonomi antarwilayah dengan dukungan khusus dari pusat. Sedang rekomendasi terahir, pemerintah perlu mereformasi sistem Pilkada agar melahirkan pemimpin daerah yang lebih berkualitas, tidak hanya bergantung pada rekomendasi partai di Jakarta, tutur Dedi Iskandar.
Begitu juga Badan pengkajian
MPR RI Firman Subagyo mengatakan membahas isu yang sangat menarik yaitu hubungan pusat dan daerah dalam rangka optimalisasi desentralisasi dan otonomi daerah seperti kita kerja bersama bahwa akhir-akhir ini terjadi berbagai gejolak terutama di daerah akan ada beberapa hal yang tentunya ini merupakan akumulasi daripada beberapa regulasi-regulasi yang kami anggap itu adalah mengambil kembali daripada peran daerah.
Saya ingin menyampaikan ada empat poin yang akan saya sampaikan pertama ada dasar hukum yaitu 1 pembukaan undang-undang dasar 1945 alinea ketiga dan keempat adalah akar dan dasar pengaturan hubungan pemerintah pusat dan daerah karena pemerintah punya kewajiban untuk memperhatikan kehidupan masyarakat bangsa dan negara tanpa terbatas termasuk daerah kemudian ada undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah undang-undang ini merupakan perangkat dasar yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah secara keseluruhan termasuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah.
Undang-undang ini telah mengalami beberapa perubahan salah satunya adalah yang tercantum dalam undang-undang nomor 9 tahun 2015 dan undang-undang ini juga mengatur hal-hal terkait pemerintahan daerah seperti pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah pusat di konsentrasi dan penyesuaian wewenang DPRD daerah dengan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah, dan yang ketiga adalah undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah undang-undang ini secara khusus mengatur aspek keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu undang-undang nomor 33 tahun 2004.
Kemudian masuk yang kedua tentang kelebihan daripada desentralisasi dan otonomi daerah yaitu pemberdayaan daerah desentralisasi memungkinkan daerah itu mengelola sendiri urusan pemerintahan dan pembangunan sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga partisipasi dan percepatan pembangunan daerah ini adalah tujuan daripada otonomi daerah, kedua peningkatan efisiensi desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan dengan mengurangi birokrasi yang mempercepat pengambilan keputusan ideal yang dulu kalau kita memproses izin itu dari tingkat bawah sampai tingkat pusat itu lamanya luar biasa dan spirit daripada otonomi daerah adalah salah satunya itu.
Ketiga adalah pengembangan potensi daerah desentralisasi memungkinkan daerah untuk mengembangkan potensi dan keunggulan lokal sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kenyataan masyarakat, kalau saya sering menganalogikan Bupati kepala daerah sekarang ini kalau dipimpin oleh orang-orang dari birokat murni biasanya kemajuannya itu agak sedikit terhambat dibandingkan kalau kita memiliki kepala daerah dari profesional itulah mereka bisa mengoptimalkan terhadap daya yang dimiliki yaitu sumber daya alam dan kemudian sumber daya manusia yang mereka miliki sehingga terjadi salah satu investasi, tutur Firman Subagyo.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani