Jakarta, MPOL - Sinergi
APBN dan Ekonomi Nasional jadi kunci pemerataan pembangunan, demikian Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Labib, dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia dengan tema "Sinergi Sistem Keuangan Negara dan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Sosial" Rabu (24/9) di
DPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya pentingnya sinergi antara sistem keuangan negara dan perekonomian nasional, untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sistem keuangan negara mencakup empat instrumen utama, yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (
APBN), perpajakan, pembiayaan, serta transfer ke daerah. Keempat instrumen tersebut, katanya, harus dikelola secara sinergis agar tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga memastikan pemerataan pembangunan.
"Alhamdulillah dengan menteri baru, transfer ke daerah dikembalikan lagi. Kita harapkan ini menjadi daya dorong untuk pembangunan di daerah yang kemarin agak lesu."
Belanja negara harus diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengendalikan defisit dan utang agar kepercayaan pasar tetap terjaga. Sementara anggaran, kata dia, perlu difokuskan pada sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, teknologi, dan perlindungan sosial.
Pentingnya dukungan fiskal terhadap dunia usaha, khususnya UMKM, termasuk melalui keringanan pajak, subsidi bunga investasi, serta akselerasi digitalisasi. Ia menilai ekonomi digital akan menjadi motor utama generasi muda, terutama Gen Z, dengan kontribusi yang diproyeksikan bisa mencapai 20 persen terhadap PDB pada 2030.
Selain itu, ia menekankan agar penerimaan pajak dioptimalkan lewat penegakan hukum terhadap penunggak pajak besar, bukan dengan menambah beban masyarakat. "Ada 200 penunggak pajak dengan nilai Rp60 triliun. Kalau ini dioptimalkan, akan menjadi sumber penerimaan yang jauh lebih baik daripada membebani masyarakat."
Strategi ke depan harus mencakup perluasan sumber pendapatan negara, optimalisasi BUMN, efisiensi belanja, serta transparansi
APBN melalui digitalisasi agar partisipasi publik dalam pengawasan semakin meningkat.
"Pertumbuhan ekonomi harus berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Kalau hanya mengejar pertumbuhan tanpa pemerataan, maka ketimpangan akan tetap terjadi," tutur Ahmad Labib.
Sedangjan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menyoroti persoalan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih tajam meskipun Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Ia menilai kesejahteraan hanya dinikmati segelintir elit dan pejabat, sementara rakyat kecil terus tercecer.
Sejak merdeka, prinsip utama bangsa adalah kesejahteraan. Namun, setelah 80 tahun, justru pejabat yang sejahtera, rakyatnya yang tercecer. "Yang kaya tujuh turunan, yang miskin tujuh turunan," ketimpangan itu semakin diperparah dengan kebijakan fiskal yang tidak berpihak pada rakyat.
Ia juga menyoroti pemangkasan transfer dana ke daerah yang berdampak langsung pada gaji tenaga honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). "Yang terganggu justru gaji pegawai paruh waktu dan PPPK. Mereka hanya hidup dengan Rp1,2 juta sebulan, dipotong lagi. Bupati jadi kewalahan karena transfer daerah dipangkas."
Kebijakan pajak yang cenderung menyasar kelompok menengah ke bawah. Menurutnya, negara lebih suka memburu pajak dari rakyat kecil ketimbang menutup kebocoran di sektor tambang, migas, dan perkebunan.
"Negara ini seperti berburu di kebun binatang. Pajak tanah, kendaraan, rumah, digital, semua dikejar. Tapi sektor tambang dan migas yang bocor sampai 80 persen dibiarkan."
Persoalan utama Indonesia bukan keterbatasan sumber daya, melainkan kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam. Hal itu, menurutnya, menjadikan pejabat dan oligarki semakin makmur, sementara rakyat semakin terpinggirkan.
Melemahnya representasi politik rakyat akibat dominasi oligarki. "Undang-undang lebih sering menjadi titipan investor dibanding mewakili kepentingan rakyat. Inilah yang membuat suara rakyat terpisah."
Untuk itu ia mengingatkan pentingnya kembali pada semangat Pasal 33
UUD 1945, yang menegaskan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Data menunjukkan 78 persen pendapatan rakyat Indonesia masih di bawah Rp700 ribu per bulan. Sementara, segelintir orang terkaya bisa menutupi kebutuhan ratusan juta rakyat. Kesenjangan ini makin dalam," tutur Pangi.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani