Rabu, 01 Oktober 2025

Sistem Politik Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi Berada di Persimpangan

Zainul Azhar - Rabu, 01 Oktober 2025 18:15 WIB
Sistem Politik Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi Berada di Persimpangan
Zainul
Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, Rabu (1/10) di DPR RI Jakarta
Jakarta, MPOL - Sistem politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi berada di persimpangan demikian pendiri Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim mengatakan dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, Rabu (1/10) di DPR RI Jakarta.

Baca Juga:
Menurutnya sistem politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi selalu berada di persimpangan antara sistem presidensial dan parlementer.

Praktik ketatanegaraan Indonesia membentuk pola "jalan ketiga" yang khas, dengan oposisi bersifat cair dan kompromi sebagai tradisi politik.

"Sejak awal Indonesia selalu mencari jalan ketiga antara dua kutub: presidensial yang kuat atau parlementer yang cair." Ia menguraikan, meski UUD 1945 secara jelas menganut sistem presidensial, realitas politik segera berubah setelah Proklamasi.

Melalui Maklumat Wapres No. X tahun 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945, praktik parlementer de facto diperkenalkan. Dampaknya, sejak 1945 hingga 1949 terjadi delapan kali pergantian kabinet yang rata-rata berusia kurang dari setahun.

Ketidakstabilan berlanjut pada era UUDS 1950 dengan sistem parlementer penuh. Dalam sembilan tahun, tujuh kabinet jatuh karena tarik-menarik kepentingan partai dan konflik ideologi.

Situasi ini mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang mengakhiri sistem parlementer dan mengembalikan UUD 1945.

Amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi mempertegas Indonesia sebagai negara presidensial: Presiden dipilih langsung oleh rakyat, memiliki masa jabatan tetap, dan tidak bisa dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Mekanisme checks and balances dijalankan melalui DPR, MK, MA, serta lembaga independen.

Namun dalam praktik, partai politik di Indonesia kerap menempatkan diri sebagai oposisi seperti dalam sistem parlementer.

"Oposisi di Indonesia bersifat cair. Partai yang awalnya oposisi bisa sewaktu-waktu masuk koalisi, dan sebaliknya," jelasnya.

Fenomena ini menciptakan oposisi "abu-abu" yang membuat garis koalisi dan oposisi kian kabur. Kondisi tersebut bukan sekadar kelemahan institusional, melainkan ekspresi budaya politik Indonesia yang mengedepankan keguyuban.

"Demokrasi jalan ketiga Indonesia adalah model khas. Jika dijaga seimbang, bisa jadi kontribusi kita bagi percakapan global, tutur Abdul Hakim.

Sedangkan anggota Badan Pengkajisn MPR RI senator DPD RI Dedi Iskandar Batubara mengatakan saat ini DPD RI mengusulkan RUU tertentu yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

"DPD berulang kali mengusulkan agar kewenangan dan otoritasnya sebagai lembaga legislatif diperkuat. Puncaknya tentu melalui perubahan kelima UUD 1945, walaupun jalan politik ini cukup panjang."

Dedi menegaskan bahwa penguatan DPD penting untuk mempertegas sistem presidensial yang saat ini dianggap terlalu kuat di tangan eksekutif.

Ia menilai jika kewenangan legislasi yang menyangkut kepentingan daerah diberikan kepada DPD, hal itu akan memperkuat representasi dan partisipasi daerah dalam penyelenggaraan negara.

"Anggota DPD mayoritas berasal dari daerah dan paham betul persoalan lokal. Kalau legislasi terkait daerah diserahkan kepada DPD, tentu hasilnya akan lebih tepat sasaran," tutur Dedi.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru