Minggu, 26 Oktober 2025

Sanksi Berat Bagi Olahraga Indonesia

Oleh Jimmy S. Harianto, mantan Redaktur Olahraga dan wartawan senior Kompas serta anggota Forum Wartawan Kebangsaan
Redaksi - Minggu, 26 Oktober 2025 14:13 WIB
Sanksi Berat Bagi Olahraga Indonesia
Jimmy S. Harianto, mantan Redaktur Olahraga dan wartawan senior Kompas serta anggota Forum Wartawan Kebangsaan
, MPOL - Bukan untuk pertama kalinya Indonesia terkena sanksi olahraga. Tetapi sanksi kali ini terasa berat lantaran Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyerukan kepada federasi olahraga internasional agar tidak menggelar event di cabang apapun di Indonesia setelah visa atlet Israel ditolak Oktober lalu. IOC juga meminta menghentikan pembicaraan terkait pengajuan Indonesia untuk menjadi tuan rumah olimpiade.

Baca Juga:
Keputusan Komite Olimpiade (IOC) yang diumumkan Rabu (22.10.2025) lalu itu menjadi ulangan sanksi yang pernah dijatuhkan pada Indonesia pada tahun 1963 ketika Indonesia menolak memberi visa pada atlet Israel untuk berpartisipasi dalam pesta olahraga Asia, Asian Games ke-4 tahun 1962.

Waktu itu Indonesia bahkan tidak hanya menolak memberi visa pada Israel, akan tetapi juga pada Taiwan karena Indonesia saat itu berpendapat Taiwan masih menjadi bagian dari Republik Rakyat China (RRT). Soekarno menganut One China Policy dan hanya menganut satu China, yakni RRC.

Keputusan IOC tahun 1963 itu berbuntut panjang. IOC waktu itu bahkan memutuskan mencabut keanggotaan sekaligus menunda partisipasi Indonesia di ajang Olimpiade.

Alih-alih menyerah, Presiden Soekarno juga mengeluarkan perintah agar Indonesia keluar dari IOC dan mendirikan gerakan Olimpiade tandingan yang disebut sebagai Games of The New Emerging Forces (GANEFO) untuk negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara sosialis lainnya.

Pada 10-22 November 1963, Indonesia resmi menggelar Olimpiade tandingan GANEFO di Jakarta. Sebanyak 10 negara dari Asia, Afrika, hingga Eropa berpartisipasi dalam ajang tersebut.

GANEFO yang ke-2 bahkan digelar di Kamboja tiga tahun kemudian. Awalnya, GANEFO direncanakan menjadi ajang rutin, tetapi rencana tersebut tidak pernah berlanjut.

Meski begitu, GANEFO tetap dikenang sebagai simbol perlawanan Indonesia terhadap dominasi Barat dalam dunia olahraga dan politik global.

Kronologi insiden Israel

Keputusan Indonesia menolak menerbitkan visa bagi atlet dari Israel bermula dengan digelarnya Kejuaraan Dunia Senam Artistik 53rd FIG Artistic Gymnastics World Championships di Jakarta (19--25 Oktober 2025).

Melalui pernyataan resmi, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, pada 9 Oktober 2025 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan memberikan visa kepada 6 atlet Israel yang dijadwalkan mengikuti kejuaraan senam dunia di Jakarta tersebut.

Menteri Yusril menyatakan keputusan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Yusril juga mengungkapkan, termasuk aspirasi masyarakat serta hal itu sesuai sikap politik luar negeri Indonesia terkait Palestina/Israel. Pemerintah daerah DKI Jakarta juga menyatakan tidak mengizinkan atlet Israel hadir di ibu kota.

Menanggapi penolakan ini, Federation Gymnastics Israel (IGF) mengajukan dua permohonan ke peradilan olahraga, Court of Arbitration for Sport (CAS) agar atlet Israel bisa ikut atau agar kejuaraan dipindah dari Jakarta atau bahkan dibatalkan.

Permohonan diajukan pada 10 Oktober (terhadap Fdration Internationale de Gymnastique / FIG) dan 13 Oktober (bersama enam atlet Israel) untuk "langkah sementara" agar kejuaraan ditunda atau dibatalkan.

Pada 15 Oktober, peradilan olahraga (CAS) menolak kedua permohonan Israel. FIG menyatakan bahwa keputusan pemerintah Indonesia berada di luar kewenangannya terkait penerbitan visa, dan FIG mengakui bahwa ini mungkin menyalahi statuta mereka/International Olympic Committee (IOC), meskipun pertimbangannya karena faktor force majeure seperti keamanan.

IOC kemudian menyatakan keprihatinan atas keputusan Indonesia yang menolak visa bagi tim Israel, menegaskan bahwa "semua atlet yang memenuhi syarat seharusnya dapat berkompetisi tanpa diskriminasi".

IOC menyebut keputusan ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip non-diskriminasi di dalam olahraga yang dianut IOC, dan menyatakan akan mengevaluasi bila tuan rumah tidak menjamin akses setara bagi semua atlet.
Rapat Virtual IOC

Keputusan Komite Olimpiade itu ditetapkan setelah pihaknya mengadakan rapat virtual untuk membahas penolakan dari pihak Indonesia tersebut. Hasil rapat virtual menelorkan empat keputusan sanksi atas Indonesia, berupa penghentian dialog pengajuan Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade (diajukan Indonesia sejak 2022), Olimpiade Remaja, acara-acara berkaitan dengan Olimpiade, dan atau konferensi tentang Olimpiade di masa mendatang.

Dialog akan dilanjutkan jika pemerintah Indonesia memberikan jaminan bahwa semua peserta Olimpiade, tanpa memandang kewarganegaraan, akan diizinkan masuk ke Indonesia.

IOC juga merekomendasi (menyarankan) agar Federasi-federasi Internasional Olahraga tidak mengizinkan Indonesia menjadi tuan rumah acara olahraga atau pertemuan internasional olahraga dalam bentuk apapun.

IOC juga menegaskan prinsip non-diskriminasi, yang menekankan pentingnya akses bebas dan tanpa hambatan bagi semua atlet, tim dan pengurus olahraga yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga internasional, tanpa diskriminasi oleh negara tuan rumah.

Tak hanya itu. IOC juga mengimbau agar Federasi Internasional Olahraga agar untuk sementara tidak menggelar turnamen internasional di Indonesia.
Erick Thohir

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Erick Thohir, pada dua hari berikutnya setelah keputusan IOC mengungkapkan kepada pers di Jakarta bahwa keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) terhadap Indonesia tidak berarti keanggotan Indonesia di IOC dibekukan dan bahwa Indonesia masih bisa mengirimkan atlet untuk berlaga di ajang internasional.

Hetifah menegaskan, sikap Indonesia tidak bisa dipandang sebagai tindakan diskriminatif terhadap atlet, melainkan bentuk konsistensi moral bangsa dalam memperjuangkan kemanusiaan dan solidaritas terhadap rakyat Palestina.

Sementara kalangan netizen dalam beberapa unggahannya mengatakan, justru menilai IOC memakai "standar ganda". Di satu pihak, menginginkan "olahraga dipisahkan dari politik".

Akan tetapi IOC sendiri tidak memakai standar yang sama ketika menerapkan sanksi pada atlet-atlet negara Rusia dan Belarusia, berkaitan dengan agresi mereka ke Ukraina. Sejak tiga tahun ini, atlet-atlet Rusia dan Belarusia tidak diizinkan berpartisipasi di Olimpiade Paris 2025, dan juga Olimpiade musim Dingin 2026.

Sementara di lain pihak, Israel yang juga melakukan agresi dan bahkan juga tindak genosida terhadap rakyat di Palestina, tidak dijatuhi sanksi yang sama seperti pada atlet Rusia dan Belarusia.

Dan kali ini, IOC bahkan menjatuhkan sanksi berat pada Indonesia yang menolak memberi visa pada "negara agresor" Israel untuk berpartisipasi di Kejuaraan Dunia Senam Artistik di Jakarta Oktober lalu... *

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Baringin MH Pulungan
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru