Jakarta, MPOL-Anggota DPD RI, Pdt.
Penrad Siagian mengkritik keras adanya indikasi resentralisasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 saat mengikuti Sidang Paripurna Luar Biasa ke-1 DPD RI Masa Sidang I Tahun 2025-2026.
Baca Juga:
Sidang yang berlangsung di Nusantara V, Kompleks Parlemen pada Senin, 8 September 2025, tersebut mengambil tema "Pengambilan Putusan Pertimbangan DPD RI atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026".
Dalam paparannya, Pdt.
Penrad Siagian menyampaikan apresiasi terhadap kinerja Komite IV yang telah memperlihatkan hasil pertimbangan.
Namun, ia menyoroti beberapa persoalan mendasar terkait postur APBN 2026 yang dinilai menunjukkan resentralisasi yang sangat mencolok.
Kritik Terhadap Pernyataan Menteri Keuangan
Penrad secara khusus mengkritik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam video pertemuan dengan Komite IV yang menyatakan bahwa anggaran "sebenarnya ini semua untuk daerah".
"Roh dari desentralisasi otonomi daerah tidak begitu. Pengelolaan anggaran, pengelolaan kebijakan itu ada di daerah. Statement-statement itu saya pikir bentuk vulgar resentralisasi yang sedang terjadi," tegas Siagian.
Ia menegaskan bahwa secara politik kebijakan, pernyataan seperti itu harus ditarik karena tidak sesuai dengan konstitusi otonomi daerah yang dianut Indonesia.
Soal Efisiensi dan Transfer ke Daerah (TKD)
Terkait kebijakan efisiensi yang sedang dijalankan pemerintah, Penrad memahami hal tersebut sebagai kebijakan politik. Namun, ia menolak jika efisiensi diartikan sebagai penarikan semua sumber pengelolaan keuangan ke pusat.
Salah satu yang berdampak adalah Transfer ke Daerah (TKD) yang mengalami penurunan. Dia meminta agar TKD dikembalikan minimal sama dengan tahun sebelumnya, sebelum terjadinya efisiensi.
"Selain kita ingin memperlihatkan bahwasanya negara ini masih tetap berada di jalur yang benar di otonomi daerah, ini juga bentuk melakukan dikte kebijakan pusat kepada daerah," jelasnya.
Menurutnya, belum tentu Kementerian/Lembaga (K/L) yang mengatur kebijakan dan pengelolaan keuangan ke daerah sesuai dengan konteks daerah tersebut.
Soal Dana Bagi Hasil (DBH)
Lebih lanjut, ia juga menyoroti persoalan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dinilai tidak adil bagi daerah penghasil.
Penrad melihat beberapa regulasi tentang DBH dari UU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah hingga Peraturan Menteri Keuangan perlu diubah.
"Kalau hasil, katakanlah Sumatra Utara dengan luas perkebunan yang ratusan ribu hektar hanya mendapatkan sekian persen saja, itu tidak masuk akal. Sumber dayanya diambil dari daerah," kritiknya.
Ia menyatakan bahwa perubahan persentase DBH harus menjadi target kerja DPD RI di periode ini dan ke depan, mengingat terbatasnya opsi kepala daerah selain menaikkan pajak untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Poin terakhir yang disampaikan Penrad adalah terkait pemilihan mitra dialog Komite IV dalam membangun pertimbangan APBN 2026.
Menurutnya, mitra yang diundang seperti Kementerian Keuangan, Gubernur BI, Kepala Bappenas adalah mitra sekunder.
"Seharusnya sejak awal, ke depannya nanti untuk pertimbangan tahun 2027, mitra primer kita itu adalah kepala daerah," usulnya.
Penrad menekankan bahwa agar masukan benar-benar riil dari daerah, mitra yang diajak dialog untuk memberikan pertimbangan ke depan sebaiknya adalah kepala-kepala daerah, pemerintah daerah, dan stakeholder terkait, bukan kementerian pusat.
"Ketika kita bicara dengan Kementerian Keuangan ya itu tadi omongannya 'ini semua kan untuk daerah'," pungkasnya, menekankan pentingnya empat poin tersebut untuk dilaksanakan dalam upaya menjaga semangat otonomi daerah.
Konteks Politik Terkini
Kritik Penrad juga tak bisa dilepaskan dari konteks politik Indonesia pasca-pemilu 2024. Pemerintah baru tengah menata ulang fiskal dengan target defisit di bawah 3 persen PDB.
Namun, arah kebijakan yang lebih terpusat menimbulkan tanda tanya: apakah efisiensi dijadikan alasan untuk menarik kendali dari daerah?
Selain itu, posisi DPD RI yang selama ini hanya memberi pertimbangan pada APBN, semakin mendorong anggota-anggota seperti Penrad untuk menegaskan peran mereka sebagai penyambung suara daerah. Kritik keras terhadap resentralisasi adalah cara DPD menegaskan eksistensinya di hadapan DPR dan pemerintah.
Di sisi lain, janji politik pemerintahan baru tentang pertumbuhan inklusif berbasis daerah berpotensi dipertanyakan legitimasinya, jika alokasi TKD dan DBH justru menurun.
Hal ini memperbesar potensi ketidakpuasan daerah penghasil, terutama di luar Jawa, yang merasa kontribusinya ke pusat tidak sebanding dengan alokasi yang diterima.
Situasi ini bisa menjadi politik fiskal panas menjelang pilkada mendatang, ketika isu desentralisasi ekonomi dan kemandirian fiskal daerah akan menjadi bahan kampanye para calon kepala daerah.
Kritik Penrad, dengan demikian, bukan sekadar teknokratis, tapi juga menegaskan bahwa masa depan otonomi daerah sedang diuji oleh arah kebijakan RAPBN 2026.
Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI yang membahas RUU APBN 2026 dan Nota Keuangan pada Selasa, 2 September 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menjelaskan bahwa alokasi belanja per kapita dalam RAPBN 2026 disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan wilayah.
Pembahasan tersebut terkait dengan belanja negara baik melalui Kementerian/Lembaga (K/L) maupun Transfer ke Daerah (TKD).
Sri Mulyani dalam kesempatan itu menyatakan, "Ini semua yang menikmati masyarakat di daerah, jadi semua daerah tentu saja yang sesuai dengan program-program ini."
Pernyataan inilah yang kemudian menjadi sorotan kritik Pdt.
Penrad Siagian dalam Sidang Paripurna Luar Biasa, di mana ia menilai pandangan tersebut sebagai bentuk resentralisasi yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Sidang Paripurna Luar Biasa ini merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan DPD RI atas RUU APBN 2026 yang akan menjadi pertimbangan bagi DPR RI dan pemerintah dalam finalisasi anggaran negara tahun depan. **
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News