Jakarta, MPOL - Era Presiden Prabowo harus jadi momentum pemerataan kesempatan dan kemandirian ekonomi demikian anggota Badan Pengkajian
MPR RI dari unsur
DPD RI Fadel Muhamad, dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia "Memperkuat Jadi Diri Bangsa di Mata Dunia melalui Fungsi Kebangsaan
MPR RI" Rabu (15/10) di DPR/
MPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya di tengah dinamika politik dan ekonomi global yang makin kompleks, anggota Badan Pengkajian
MPR RI sekaligus
DPD RI Fadel Muhammad menilai kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru bagi Indonesia. Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan terbesar bangsa hari ini bukan sekadar pembangunan fisik atau diplomasi internasional—melainkan pemerataan kesempatan ekonomi di dalam negeri.
"Masalah kita bukan sumber daya, tapi kesempatan yang tidak merata. Orang kaya makin kaya, sementara kelompok bawah dan menengah makin terdesak," bukan dari menara gading. Ia pernah menjadi Gubernur Gorontalo, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga anggota DPR RI. Dengan pengalaman panjang di pemerintahan dan dunia usaha, melihat bahwa ketimpangan akses terhadap peluang ekonomi masih menjadi luka lama bangsa yang belum sembuh.
Ia menggambarkan struktur masyarakat Indonesia seperti piramida—dengan segelintir orang di puncak menikmati kekayaan besar, sementara mayoritas rakyat masih berjuang di lapisan bawah. "Struktur itu seharusnya diubah menjadi belah ketupat. Artinya, kelas menengah harus diperbanyak melalui pemerataan kesempatan berusaha."
Presiden Prabowo telah memperlihatkan keberanian dan kepercayaan diri di panggung dunia, baik dalam forum diplomatik maupun kebijakan strategis nasional. Namun, di level domestik, pemerataan kesempatan berusaha harus menjadi prioritas utama dalam dua hingga tiga tahun pertama pemerintahannya.
Langkah Prabowo yang menegur bank-bank milik negara, karena pembiayaan besar hanya mengalir ke kelompok terbatas. "Beliau sudah mulai menanyakan siapa yang pakai uang negara paling banyak. Dan ternyata itu-itu saja. Ini harus diubah," kata Fadel.
Sebagai contoh, Fadel mengisahkan kebijakan saat dirinya memimpin Gorontalo, di mana ia menyalurkan dana APBD Rp10 miliar ke bank-bank daerah dan menggandeng Askrindo agar bisa dijadikan jaminan bergulir senilai Rp100 miliar bagi petani jagung. Langkah itu, menurutnya, memberi ruang bagi masyarakat kecil untuk mengakses kredit tanpa agunan besar.
Serta derasnya arus produk impor, terutama dari China, yang menggerus industri manufaktur nasional. Ia menilai, kemandirian ekonomi tidak akan tercapai tanpa keberanian politik untuk membangun basis produksi di dalam negeri. "Barang-barang dari luar, terutama China, sudah terlalu murah. Kalau kita tidak membangun manufaktur sendiri, kita akan jadi pasar abadi bagi mereka."
Bagi Fadel, kemandirian bangsa tidak bisa dibangun dalam ruang kosong. Ia menegaskan perlunya strategi nasional yang mencakup tiga aspek utama, yakni reformasi pendidikan, agar menghasilkan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif; Kebijakan perbankan inklusif, yang memberi akses modal bagi sektor usaha kecil dan menengah; Keadilan dalam sistem usaha, agar konglomerasi besar tidak memonopoli ruang ekonomi.
"Kita tidak melarang orang jadi besar. Tapi kalau sudah besar, jangan ambil semua ruang. Beri kesempatan bagi yang lain tumbuh," tegas Fadel. Muhamad.
Sedangkan anggota Badan Pengkajian
MPR RI (F.Golkar) Firman Soebagyo mengatakan Indonesia memiliki modal besar untuk dihormati di kancah global, jika mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan secara konsisten. Menurutnya, Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar doktrin politik, tetapi sistem nilai yang membentuk identitas dan karakter bangsa di tengah arus globalisasi.
"Empat pilar ini adalah fondasi utama yang menjaga Indonesia tetap berdiri tegak sebagai bangsa besar di tengah keberagaman."
MPR RI tidak hanya bertugas menjaga konstitusi, tetapi juga memiliki peran strategis memperkuat diplomasi kebangsaan. Ia menegaskan, nilai-nilai Empat Pilar perlu diperkenalkan ke masyarakat internasional melalui diplomasi publik, kerja sama antarparlemen, media, dan pertukaran pelajar.
"Empat Pilar harus disampaikan ke dunia internasional agar mereka memahami siapa kita. Sosialisasi nilai-nilai kebangsaan ini akan memperkuat citra positif Indonesia sebagai negara yang toleran, demokratis, dan berdaulat." Ia mencontohkan, berbagai momentum nasional seperti aksi damai 212 dan peringatan HUT ke-80 TNI mencerminkan kedewasaan bangsa dalam menjaga harmoni sosial dan ketertiban. "Kita menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bisa bersatu dalam perbedaan tanpa menimbulkan kekacauan. Itu kekuatan moral dan budaya yang jarang dimiliki bangsa lain."
Dalam pandangannya, penguatan jati diri bangsa di era global tidak cukup hanya dengan simbol-simbol nasional. Generasi muda, termasuk pelajar dan pekerja migran, perlu dibekali pemahaman mendalam tentang ideologi negara agar mereka mampu menjadi duta nilai-nilai Indonesia di luar negeri. "Banyak tenaga kerja dan mahasiswa kita di luar negeri belum memahami makna Pancasila. Mereka harus diberi pembekalan supaya bisa menjelaskan nilai-nilai kebangsaan kepada dunia, bukan sekadar beradaptasi dengan budaya asing," tutur Firman Soebagyo. (ZAR)
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani