Selasa, 05 November 2024

RAPBN 2025 Adalah Rencana Kerja, Bukan Rencana Anggaran

Zainul Azhar - Selasa, 11 Juni 2024 20:02 WIB
RAPBN 2025 Adalah Rencana Kerja, Bukan Rencana Anggaran
Zainul
Jakarta, MPOL - RAPBN adalah rencana kerja, bukan rencana anggaran, demikian anggota Komisi XI DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengatakan dalam Forum Legislasi "MengupasRAPBN 2025 Menuju Indonesia Maju" bersama Direktur Ekonomi Digital Center of Economc and Law Studies (Celios) Nailul Huda dan praktisi Media John Aktoveri, Selasa (11/6) di DPR RI Jakarta.

Baca Juga:
Menurut Zulfikar Arse Sadikin fokus awal pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 ialah rencana kerja, bukan rencana anggaran. "Kalau kita bicara RAPBN karena itu berasal dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), harus dilihat dulu adalah bagaimana kerjanya, bagaimana kinerjanya. Tentu hal ini bagaimana kebijakannya, bagaimana programnya, bagaimana kegiatannya, jangan langsung ke uangnya dulu, apalagi kita punya istilahnya 'kalau uang mengikuti kegiatan."

Setelah fokus terhadap rencana kerja, ujarnya pula, maka perlu dilakukan pemetaan terhadap berbagai rencana tersebut dengan mengandalkan riset, sehingga kerja yang hendak dilaksanakan benar-benar dapat dijalankan. Sesudah rencana kerja dirampungkan dan dipastikan selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, barulah dapat dibahas lebih lanjut terkait pendanaan untuk setiap program kerja (proker). Dalam hal ini, upaya mengumpulkan anggaran juga perlu diketahui detail agar setiap proker mendapatkan dana secara tepat sasaran.

"Kita harus memperbanyak memang collecting pendapatan kita, tapi kan kita harus siapa yang perlu di-collect itu biasanya yang besar-besar, jangan yang kecil-kecil yang di-collect." Pemerintah disebut perlu mengeluarkan pembelanjaan melalui APBN dalam rangka menghadirkan pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Misalnya, belanja barang dan belanja pegawai yang keluar sekitar 50 persen dari APBN bisa dipakai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Selama ini, pemerintah dinyatakan cenderung mengandalkan konsumsi rumah tangga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pada tahun 2023, angka konsumsi rumah tangga yang sebesar 4,82 persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi sebanyak 5,05 persen. "Ini harus dipikirkan sama pemerintah, terutama pemerintah yang memimpin kita sekarang ini, agar spending better-nya itu ke depan benar-benar bisa menggeliatkan kegiatan ekonomi, sehingga daya beli masyarakat itu bisa tetap terjaga. Selama sekarang ini kan kelihatannya tertekan nih, orang makin mikir untuk membelanjakan duitnya karena punya kebutuhan lebih prioritas," tutur Zulfikar Arse.

Sedangkan Nailul Huda mengatakan kita akan memang membahas mulai dari collecting more. Nah kita tahu bahwa collecting ini kan jadi salah satu PR yang dari dulu tuh enggak selesai-selesai gitu kan, kita tahu bahwa di tahun 2019 ketika pak Jokowi itu merencanakan untuk bikin RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasiona) itu sudah ditetapkan bahwa untuk teks rasio di kita ini sekitar 12% eks rasio ya tes rasio yang di RPJMN dan itu sekitar 12,3%.

Nah tapi masalahnya kita Tengah menghadapi teks ratio yang buruk gitu, nah ini saya coba baca datanya saja di tahun 2023 after covid Saya akan ambil 2020 2021 dan 2022, tapi saya coba untuk ambil tahun 2023 itu hanya 10,31% itu pun lebih rendah dibandingkan dengan teks rasio tahun 2022 yang mencapai 10,39% di tahun 2024 teks rasio itu hanya 10,2% jadi tahun depan itu Saya rasa cukup berat untuk bisa mencapai lebih dari 10,2% karena trend-nya pun dan pemerintah pun itu ternyata tidak seoptimis mungkin untuk mengkoleksi teks Rasio lebih ataupun meningkatkan teks hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Jadi tahun ini teks tersebut cuma 10,2%.

Kita coba melihat pertumbuhan pajak itu sudah mengalami masa Honeymoon, jadi masa Honeymoon pajak itu pertumbuhannya itu tahun 2022 itu tumbuh dua digigit 20 sampai 50% gitu kan, perbulannya tapi di tahun 2023 itu sudah kembali ke normal mencapai 6,5 8,9 sebagainya.

Jadi saya rasa ini akan pertumbuhan itu sudah mencapai fix-nya gitu jadi tidak lagi mereka bisa tumbuh 2 digit ini yang diperhatikan terus. kemudian kita melihat dari tadi langsung menyebutkan jangan yang kecil-kecil ini yang dijadikan sasaran untuk mengkoleksi ,kita tapi yang besar-besar dong gitu dan sangat.

Saya sangat setuju sekali betul kalau kita lihat sebenarnya properti dari pajak PPH orang pribadi itu masih 0,6% dari penerimaan perpajakan kita itu masih sangat rendah sekali, kita ini bisa dibilang adalah negara yang mengandalkan penerimaan pajaknya itu itu hanya dari pajak yang sudah tersistem PLN misalkan dia masuk cukai kemudian PPH karyawan PPH orang pribadi yang dia butuh impor untuk petugas pajak, koleksi datanya kemudian ketemu orangnya itu masih 0,6% padahal di negara-negara maju itu butuh sekitar 9 sampai 10% kontribusi PPH orang pribadi itu terhadap penerimaan perpajakan kita, kita masih jauh dari itu, tutur Nailul Huda.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Rini Sinik
SHARE:
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru