Medan, MPOL -Pengamat sosial politik UMSU
Shohibul Anshor Siregar. menyebut penggunaan nama gelar Prof Dr HM Mahfud MD dalam
kertas suara di Pilpres 2024 lalu bisa dijadikan referensi dan acuan bagi KPU Sumut dalam penulisan nama di
kertas suara Pilwalkot Medan 27 November 2024..
Baca Juga:
"Tidak ada keributan nasional kala itu ketika gelar Prof tercantum di depan nama Cawapres HM Mahfud MD. Itu adalah fakta hukum yang bisa dijadikan acuan sehingga gelar Prof di depan nama Ridha Dharmajaya sebagai calon walikota Medan wajar ada di
kertas suara," tegas
Shohibul Anshor Siregar kepada wartawan, Rabu (9/10).
Meskipun ada fakta bahwa sebagai syarat mendaftar calon walikota seorang ASN harus mengundurkan diri, namun katanya pengunduran diri itu tidak serta merta menghilangkan gelar Prof di depan nama.
"Meski mengundurkan diri sebagai ASN tetapi harus difahami bahwa predikat Prof yang disandang Ridha Dharmajaya itu tetap diakui oleh dunia kampus maupun di luar kampus. Maka menurut hemat saya, KPU dan Bawaslu untuk Arif dan bijak menyikapinya serta tidak mempersoalkan jika predikat Prof digunakan di
kertas suara," ucapnya.
Bahkan, kata Abyadi mungkin tak salah
jika menduga, bahwa dalam praktikalitas komunikasi dan
interaksi informal maupun formal, antara calon ini dengan orang-orang yang termasuk penyelenggara, sapaan "Pak Prof" dapat meluncur
otomatis sebagai keniscayaan moral. Itu bagian dari respek yang memang masuk akal meluncur dari setiap orang
yang pernah mengecam pendidikan tinggi.
"Saya beranggapan bahwa baik KPU maupun Bawaslu sama sekali tidak pernah merasa bahwa Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS akan beroleh poltical advantage yang
melawan substansi integritas pemilu jika jabatan akademiknya itu dicantumkan dalam
kertas suara," kata
Shohibul Anshor Siregar yang juga Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (BASIS).
Dijelaskannya meski di Indonesia gelar profesor adalah jabatan fungsional,
bukan gelar akademis, sebagaimana dinyatakan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1
Butir 3), awalnya profesor (dari bahasa Latin yang bermakna [ seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai
pakar"; bahasa Inggris: Professor]
Semangat UU Nomor 14 Tahun 2005 itu amat terkesan lebih
pada maksud penataan jenjang jabatan dalam kaitannya
yang lebih terkait dengan hak-hak keperdataan yang
terhubung dengan pembelanjaan Negara (APBN). UU ini
jelas sekali secara sempit membatasi dirinya untuk
berimaginasi tentang living reality bahwa profesor itu tak
selamanya harus dibelanjai oleh APBN dan sekaligus tak
lantas harus diadopsi dalam ketentuan rekrutmen kepala
daerah.
Selain itu orang Indonesia harusnya faham investasi besar
(immaterial dan material) untuk menjadi profesor yang
faktanya hingga kini jumlahnya hanya sedikit. Negara
mestinya merasa rugi besar memiliki regulasi seperti itu.
Legal frame-work pemilu yang bagus dan ideal mestinya
berbasis wawasan luas dan ramah atas promosi anti
diskriminasi.
"Bahwa jika pun setelah pilkada tanggal 27
Nopember 2024
orang seperti Prof.Dr.dr.Ridha
Dharmajaya, Sp.BS, menjadi Walikota Medan, secara moral
kewajibannya sebagai pakar tidak akan pernah menipis sama
sekali," kata Shohibul yang juga Ketua Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara serta Sekretaris
Yayasan Advokasi Hak Konsstitusional Indonesia (YAKIN).
Selain itu ia menyebut penulisan gelar Prof juga dilakukan di
kertas suara pemilihan legislatif dan DPD RI 2024 lalu seperti Prof Dr H Dailami Firdausi SH LLM di DKI Jakarta dan Prof Dr Hj Sylviana Murni calon DPD di Jakarta.**
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News